TSUNA: POTONGAN MEMORI YANG HILANG
Beburung bernyanyi bersahutan bagai belodi bang bindah bi bagi bari. Nah, lho, depannya B semua. *insyaf*
Seperti biasa, suasana yang tenang lagi hangat mengelilingi markas yang kembali sepi. Kebanyakan anggota Psycho-J telah berangkat ke kota untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Kecuali Kai dan beberapa lainnya yang masih tinggal untuk berjaga.
Kai sedang duduk di ruang tengah sambil membaca lembar demi lembar permintaan yang datang sejak beberapa hari yang lalu. Menyortirnya sesuai dengan tingkat urgensi dan kesulitan. Ketua Psycho-J itu sangat berdedikasi dalam keberlangsungan kelompok. Mengatur pembagian request, memilah misi, menentukan fee untuk setiap misi, bahkan mengurus regulasi keuangan. Meskipun ide awal berdirinya kelompok ini muncul dari kepala Ken, Kai lah yang dipercaya untuk mengurus semuanya. Eh....semuanya.....
"Lhoo, Kranz mana?" Kia yang baru selesai menyirami "ladang"nya duduk di teras belakang dengan kaki menggantung, sedikit memiring ke arah Kai. Kai tidak menoleh sedikitpun.
"Ngurus tokonya di kota. Karena kemaren libur, pesanannya numpuk." Jawab Kai dingin, sambil terus merapikan lembaran di hadapannya.
"Hoo...." Kia mengayunkan kaki sambil memerhatikan "ladang"nya. Sebenernya, hanya petak seukuran 2x1 m. Sisanya hamparan tanah yang tak terolah. Tiba-toba Kia terpikirkan sesuatu.
"Kranz nggak boleh dagang di sini?" tanyanya seraya menoleh lagi. Kai menghentikan gerakannya dan balik menatap.
"Lihat, wilayah kita luas. Sebelah sana hutan. Jauh pula jaraknya. Kenapa nggak buka toko di sini? Yang nggak ada kerjaan juga bisa bantu-bantu. Lumayan kan, buat pemasukan?" Kia kembali mengayunkan kaki sambil bersenandung. Sementara, Kai hanya memasang wajah datar dan melanjutkan kegiatannya.
"Ini rumah." Kia berhenti mengayunkan kakinya. Selintas angin yang lembut bertiup. Mengusap rambut hitamnya dan berkilau. Ia lalu tersenyum. Benar juga. Ia tak perlu mengklarifikasi lagi perkataan Kai. Tempat ini adalah "rumah". Tempat bagi semua orang untuk "pulang" dan mendapatkan kenyamanan dari hiruk-pikuknya dunia di luar sana.....
Seseorang muncul dari koridor dan menguap: Tsuna.
"Hhhoooaahhhmm...." lelaki dengan rambut dual color itu berjalan dengan langkah malas ke dapur. Berkumur dan mencuci muka, meminum segelas air, lalu ke ruang tengah. Duduk di seberang Kai.
"Eda mizi eba....." Kai menyipitkan matanya.
"Bangun dulu." Kia tertawa. Ia menyapa dan mengusap Neko yang menghampiri dan duduk disampingnya. Tsuna menggosok matanya dan menggeleng cepat.
"Tidurnya kelamaan. Bikin lemes."
"Siapa suruh nggak bangun." Kai tidak sekalipun mengalihkan pandangannya. Tsuna hanya menatap kosong lembar demi lembar yang dipilah Kai. Sesekali ia berkedip, namun tak mengatakan apapun. Kia yang melihat seekor tupai tak jauh dari halaman, segera melompat dari teras dan mengambil beberapa kacang dari "ladang"nya, lalu menuju tupai itu.
"Eh, itu apa?" tiba-tiba Tsuna tersentak dan menatap selembar kertas yang dipegang Kai. Kertas itu biasa saja. Kai menghentikan gerakannya.
"Kenapa?" Tsuna meraihnya. Ia lalu membaca isinya dan mengangkat alis.
"Waaah, saya boleh ambil yang ini, Kai?" ia menyodorkan kertas itu dan membaliknya sehingga Kai bisa membacanya. Mata Kai menulusuri kata demi kata yang tertera di sana. Bukan permintaan yang berat. Tidak terlalu mendesak juga. Tapi akan lebih bagus jika dilaksanakan sesegera mungkin mengingat tugasnya melibatkan fasilitas kota.
"Boleh," ada nada ganjil dalam suara Kai. Biasanya, ia akan mengajukan beberapa pertimbangan dahulu.
"Yeay~ akhirnya ada kerjaan," Tsuna mengangkat-angkat kedua tangannya dan segera bangkit. Seakan baru saja mengisi energi dan bersemangat kembali. Ia berlari ke kamar, berganti baju dan mengambil tasnya, lalu membuka pintu utama yang telah diperbaiki dan pamit.
"Loh, Tsuna mana?" Kia baru saja kembali dengan seekor tupai yang digendongnya. Sementara, Kai sedang merapikan lembaran yang telah disortirnya.
"Keluar. Ngambil misi." Mulut Kia membulat. Tupai di tangannya melompat dan pergi. Kia pun melambai padanya dan berjalan menuju pintu.
"Buru-buru banget?" Sampe belum ditutup gini pintunya." Ujarnya sambil menutup pintu. Ia pun berbalik dan memandangi Kai yang kini menyilangkan tangannya dan tampak berpikir.
"Kenapa?" Kai tidak menjawab. Kia berjalan dan mengambil makanan Neko di atas laci.
"Hmm...." Kia berjalan ke teras dan menuangkan sereal bintang di tempat makan Neko. Berbincang dengan Neko, lalu mengembalikan bungkusan sereal ke tempat semula. Suasana kemudian hening beberapa saat.
"Kai nyoba mikirin sesuatu? Tentang apa?"
"Tsuna,"
"Hoo.....eh, emang bagaimana ceritanya Tsuna bisa gabung? Waktu pertama kali ketemu, kenapa bisa langsung dipilih?" Kia berjalan ke tengah ruangan dan duduk di seberang Kai. Memerhatikannya.
"Nggak, nggak." Kai menggeleng.
"Dia itu anak yang gue temuin dalam misi. Dulu, waktu masih umur 10 tahun. Terus karena waktu itu lagi rusuh-rusuhnya, dia dikirim ke luar daerah supaya nggak jadi korban peperangan.
Jadi waktu itu ada peraturan: kalo ada penduduk muda yang selamat dari kerusuhan, mereka bakal dideportasi ke daerah yang aman sampe cukup besar dan bisa ngurus diri sendiri. Itu untuk menghindari penyanderaan, eksploitasi anak, dan sejumlah hal yang merugikan kondisi anak tersebut. Terus, masing-masing anggota Guild yang mendeportasi itu dijadiin sebagai 'wali' atau 'orangtua' yang bersangkutan. Kalo kira-kira udah mumpuni dan mandiri, anak itu dipulangin ke Negara dan punya hak bebas. Mau ikut Guild atau jadi rakyat biasa, terserah.
Nah, gue waktu itu tercatat sebagai penanggung jawabnya. Jadi, gue juga yang jemput dia. Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba ada tiga bandit yang nyerang pedagang antar kota: Gue yang masih jadi bagian dari keamanan Negara refleks minta dia nunggu sementara gue ngurus bandit itu. Dan karena pemimpin bandit itu cukup handal, gue 'terpaksa' ngalirin Dark Flame ke pedang.
Salah satu bandit yang pedangnya gue tangkis lepas dan kelempar. Sebelum gue sempet nengok, pemimpin bandit itu ngedorong gue dengan pedangnya sampe gue hampir jatuh. Dan tiba-tiba, Tsuna lompat dari samping dan ngebelah pedang pemimpin bandit itu sampe gue jatuh," Kai berhenti sesaat.
"Dengan pedang bandit yang juga dialirin Dark Flame...." Kia terkesima.
"Gue sampe nggak bisa ngomong apa-apa waktu itu. Bener-bener kaget. Teknik sekaligus kutukan itu cuma gue yang punya, dan bener-bener aktif karena proses yang panjang. Bukan dari keturunan. Tapi, karena si pemimpin bandit itu keburu lengah, gue langsung bangun dan matahin pedang yang masih utuh. Ngancem mereka buat nyerah. Mereka kalang kabut ketakutan. Dan pedagang itu kami sampe tujuannya." Kai berhenti lagi. Masih menatap kosong meja dengan dua tumpuk kertas di hadapannya. Hening.
"Terus?" Kia berusaha menggali. Masih ada yang tersisa dari cerita Tsuna.
"Sepanjang perjalanan, kita nggak ngomong apa-apa. Bahkan, setelah dia dibawa ke bagian administrasi dan dilepas di ibukota, gue cuma ngasih "bekal" sebagai bantuan dari pemerintahan dan nggak pernah kontakan lagi. Baru, pas nama Psycho-J booming, dia ketemu Kranz dan minta gabung." Kia mengangguk-angguk. Raut Kai masing belum berubah.
"Awalnya gue sempet curiga dan melajari kemampuannya itu. Ternyata cuma...." pintu terbuka. Keduanya refleks menoleh.
"Eh? Ada apa?" ternyata cuma sosok gembul yang selalu memasang wajah tak bersalah: Ken.
***
-Sebuah Kota Pelabuhan-
Suara cerobong asap raksasa bergema. Burung camar beterbangan di atas permukaan laut yang biru berkilau jingga. Kapal-kapal dan perahu-perahu yang berlabuh dan ditambatkan di dermaga tidaklah sedang menganggur. Mereka tengah menampung beban-beban yang dipindahkan para kuli panggul dan nelayan. Dari dan ke kapal dan perahu yang berbaris itu.
Tsuna baru saja tiba dan menghela napas panjang sembari merentangkan tangannya, menghirup aroma laut yang khas dan merasakan angin sore yang lembab. Musim ini, giliran angin timur yang menantang para pelaut dengan gelombang laut yang tiada henti mengombang-ambing, meski tidak dengan ombak yang tinggi.
Tsuna menatap laut dari kejauhan dan tersenyum. Terpana dengan pemandangan yang tenang di balik Negara yang riuh ini. Ah....ingatan itu lagi. Lelaki itu lalu melangkah dan menyusuri bangunan-bangunan kayu sederhana, namun dengan model yang indah dan khas para pelaut: cat putih, atas biru, jendela ukir, hiasan ban safety, juga jangkar.
Di sebelah kanan dari tempatnya berjalan, terdapat lahan pasir kosong yang luas; digunakan untuk mengumpulkan dan menjemur ikan dengan tujuan tertentu. Orang-orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing karena harus menyelesaikan semua sebelum hari gelap. Mercusuar di tebing nan jauh di sana tentu tak cukup untuk penerangan mereka.
Tsuna menghampiri seorang pria tua berkulit kecoklatan yang hanya mengenakan celana hijau pudar selutut. Pria itu menunjuk ke sebuah arah dan Tsuna mengangguk, lalu berterimakasih. Ia berjalan ke arah yang ditunjuk. 100 m kemudian, ia melihat seorang pria tegap yang tengah menunjuk ini dan itu pada setiap orang yag menghampirinya. Ia juga menunjuk-nunjuk kertas yang disodorkan seorang pria tua yang sudah bongkok dan mengusap punggungnya, lantas tersenyum. Saat Tsuna mendekatinya, ia masih tersenyum sambil memandang kapal-kapal kargo yang tengah dipindahkan bebannya.
Tsuna menyapanya dan pria itu menyambut ramah, bahkan menepuk-nepuk punggung Tsuna. Mereka berbincang sebentar, lalu pria itu menunjuk ke arah sebuah kios dan kapal-kapal besar yang "tersisih" dari kapal lainnya. Ia menjabat dengan Tsuna dan berterimakasih, serta memberikan kata-kata semangat. Tsuna hanya tertawa dan pamit. Ia kembali berjalan menuju tempat yang dimaksud.
Seorang pria beruban dengan kemeja pantau terbuka sedang menulis sesuatu di konter kios. Orang itu adalah Kepala Unit Fasilitas dan Barang-barang Pelabuhan. Ia lah yang mengirim surat permohonan bantuan yang kemudian disetujui oleh Tsuna (sebenernya oleh Kai). Saat melihat Tsuna mendekat, Kapala Unit menatap tanpa mengangkat wajahnya melalui kacamata yang merosot. Tsuna tersenyum dan menyapanya. Kepala Unit balas tersenyum dan menyambutnya, lalu berjabat tangan.
Tsuna mengeluarkan lembar permohonan dan menunjukkannya pada Kepala Unit, lalu pria itu mengngguk dan menghentikan pekerjaannya. Ia pun keluar kios dan merangkul Tsuna. Mengajaknya ke kapal-kapal besar yang diam di tepi dermaga. Tak berpenghuni, tak memikul beban. Ia menceritakan keadaannya secara lengkap dan menunjuk kapal dan perahu lain di ujung kanan. Kapal dan perahu yang masih cantik dan kokoh. Kepala Unit lalu membimbing Tsuna ke bagian paling tepi dermaga.
Disanalah, kekaguman Tsuna memuncak. Kapal-kapal kayu yang besar tidak lagi diayun gelombang laut. Mereka tertahan kuat di hamparan pasir yang nyaris keemasan. Tsuna memandangi dua kapal kusam di sana; satu berbahan besi dan satu lagi kayu. Keduanya sama-sama besar. Kedua kapal itu adalah "pahlawan" kota ini. Yang satu membawa penduduk dengan segenap pengamanannya, satu lagi membawa sumber penghasilan penduduk: Richotta dan Sarabellus. Kedua nama itu diambil dari sepasang suami-istri pekerja keras yang pertama kali membuka mata penduduk terhadap dunia luar. Merekalah yang mencetuskan pembuatan kapal lintas daerah dan Negara untuk mengangkat "status" kota ini.
Namun, pengoperasian mereka terhenti. Richotta sejak sebulan yang lalu, dan Sarabellus menyusul dua minggu kemudian. Keduanya telah berjuang begitu lama dan "jatuh sakit". Kepala Unit dan Kapten kapal tersebut masih berhadap pada mereka. Kinerja dan data tahan keduanya tak tertandingi. Meski telah banyak kapa yang mampu beroperasi untuk keberlangsungan ekonomi kota ini, mereka tetaplah yang utama dan melekat di hati.....
Sebenarnya, ada seorang ahli kapal di kota ini. Sayang ia tak bisa bekerja sendirian. Beberapa teknisi pun hanya mampu mengurus hal-hal umum dan menambal kerusakan luar. Ditambah, tak ada seorang ahli pun di pemerintahan yang mengerti soal perkapalan. Oleh karena itu, mendengar kabar tentang perkumpulan freelance yang mau memenuhi permintaan warga, Kepala Unit berinisiatif untuk mengirim surat ke sana - hingga akhirnya Tsuna pun tiba.
Tsuna telah mengerti situasinya dan meminta izin untuk bertemu sang ahli. Ia meyakinkan pada Kepala Unit bahwa besok pekerjaan dapat segera dimulai. Kepala Unit berbinar matanya mendengar hal tersebut. Ia lalu tertawa dan menepuk punggung Tsuna. Mengutarakan "semangat muda".
***
Burung-burung walet beterbangan di tepi hutan. Kia memandanginya dari raung tengah dengan takjub. Sekaligus mengagumi langit senja yang indah itu.
Kai memasukan lembaran permintaan sesuai lokernya; yang teratas adalah yang paling mendesak. Ia kembali duduk di depan meja dan berpikir (lagi). Namun kali ini tanpa raut kusut.
"Jadi? Apa yang aneh?" Kia menatap Kai yang memegang dagunya. Ia bergumam.
"Yuki pernah bilang, kalo mungkin dia bukan dari Negara ini" Kia mengangkat alisnya.
"Entah bagaimana. Yang jelas, dari semua tempat yang pernah gue kunjungin, dia nggak nyamain ciri khas manapun yang ada di masing-masing penduduk." Gin muncul dari pintu. Ia segera menuju kamar setelah menutupnya.
"Sudah coba ditanya tentang asal-usulnya?"
"Itu dia masalahnya," Kai mengerjap.
"Dia cuma inget satu petunjuk."
"Apa?" Kai menyipitkan matanya.
"'Yang saya ingat, dulu di tempat kelahiran saya ada papan kayu mirip jembatan, ujungnya buntu. Mirip tempat nambat kapal di dermaga. Terus, ada biru-biru menyilaukan yang......luas......'
Itu katanya." Kali ini Kia ikut berpikir. Keduanya bergumam bersamaan dan memegang dagu. Persis banyangan cermin.
"Dia juga bilang kalo 'saya juga bisa genggam apapun yang dimau. Tapi itu dulu'. Yeah....semacam itu. "Kia mengangguk. Ia lalu mengangkat alis.
"Pendapat Kai bagaimana?" Kai menggeleng.
"Awalnya gue pikir itu laut. Tapi disini cuma ada satu kota dan satu desa pelabuhan. Tetap saja, sejak pertama kali ketemu dia di Utara, deket lembah perbatasan, he makes no sense tiap ngomongin atau dibawa ke tempat-tempat itu. Oh iya, sejak itu dia ngomong begitu, gue baru sadar," Kia memandang Kai.
"Dia selalu milih sesuatu yang ada warna birunya. Kayak surat tadi, ada stempel birunya." Air muka Kia berubah lebih cerah.
"Itu darimana?"
"Kota pelabuhan. Arah Tenggara dari sini." Kia berkedip beberapa kali dan menatap garis pertemuan antara langit-langit dan dinding.
"Eh," kali ini Kai yang menatapnya.
"Bukan, sih. Masa dia penduduk langit. He-he" Kai mendengus. Kia hanya mengusap belakang kepalanya menyeringai. Sementara, sebelah tangannya membentuk tanda 'peace'. Sesaat kemudian, ia menoleh keluar dan memandangi langit yang mulai redup.
"Tapi, biru itu nggak selalu laut dan langit, kan? Atau bahkan sungai," Kai mengangkat kelopak matanya. Ia mengangkat wajah dan memandangi Kia yang mengagumi pemandangan di luar.
Lalu, biru itu apa....?
***
Kepulan asap dari teh hangat yang baru saja dihidangkan menari di atas cangkit, tak jauh dari dua orang yang tengah "mendandani" dua kapal "pahlawan". Salah satu dari keduanya bertubuh jangkung dan mengenakan baju kodok berwarna cokelat dan topi pelaut. Dimulutnya sebuah cerutu digigit dan mengepulkan asap tipis. Sementara, yang satunya masih sangat muda dan melakukan dengan yang dikerjakan si jangkung.
Lelaki muda itu tersenyum dan sesekali membalas sapaan kuli yang lewat untuk memulai rutinitas mereka di dermaga. Ia juga sesekali berbincang dengan pria jangkung tak jauh disebelahnya dan berbagi tawa. Saat ia menghentikan gerakannya dan menghela napas, ia tersenyum sambil menatap kemilau laut pagi yang cantik bak hamparan berlian. Ia menatapnya dengan mata berbinar, lalu kembali pada pekerjaannya yang akan dilakukan hingga beberapa hari ke depan.
[TSUNA: POTONGAN MEMORI YANG HILANG - END]
NEXT ON "A TALE OF PSYCHO-J": Cerita origin masih berlanjut!!! Nantikan cerita selanjutnya dalam chapter, -MIYU: THE RETIRED COUNCIL-!!
(Created by: Ojou-sama a.k.a. Kia)
No comments:
Post a Comment