Sunday, January 31, 2016

A TALE OF PSYCHO-J: PROLOGUE

"Haaah... nganggur lagi." Gin melamunkan pandangannya ke langit-langit ruangan. Seraya berbaring dan menekuk sebelah kakinya, ia menggigit-gigit batang anak ilalang yang dipetiknya - entah darimana.

"Bantuin Miyu bawa belanjaan sana! Nggak ada kerjaan aja ngeluh." Kai menyela. Ia tengah mengisi mangkok makan Neko - peliharaan kesayangan "markas" itu - dengan sereal ikan kesukaannya.

Gin malah memiringkan tubuh dan menopang kepalanya dengan sebelah tangan. Satu tangannya lagi mengusik Neko. Membangunkannya hanya untuk bermain anak ilalang yang dibawanya - entah darimana. Derap langkah kemudian terdengar mendekat. Semakin dekat dan membuka pintu depan.



"Kami pulaaang~"

Kranz dan Micchi. Dua perempuan tak terpisahkan yang memiliki kesenangan yang sama, minat yang sama, serta...kegilaan yang sama. Miyu mungkin yang mengerti keduanya....

"Udah dapat semua?" Kai menyapa keduanya yang terus berjalan ke arah ruangan mereka. Katanya, mereka tadi pergi ke kota untuk menggaet barang-barang eksklusif salah satu artis terkenal Negeri ini. Meski penjualannya baru dimulai hari ini, besok bisa saja segera berakhir, bahkan malam ini juga jika para fans dari berbagai penjuru memburu semua stok yang terbatas itu hingga ludes.

"Kita selalu bisa jadi yang terdepan kalau masalah begini~ ho-ho."

"Iya, iya! Minggu depan kami bakal nonton konsernya di Tepi Kota! Romantic, panggungnya dekat pantai!"

"Kyaaa~!" Kai hanya bisa menghela napas. Bagi sebagian perempuan, artis seperti laki-laki itu wajar bisa memiliki banyak penggemar. Lagu-lagu yang dibawakannya pun beraliran santai. Bertolak belakang dengan kondisi Negeri ini yang carut-marut oleh pemerintahannya yang disertai kemunculan para Oposisi. Pertikaian dimana-mana. Para pendemo sudah tak takut lagi bersikap anarkis. Pemandangan kearoganan dan kekerasan menjadi hal yang menakutkan bagi kalangan biasa: orang-orang yang hanya melakukan hal monoton demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Permintaan untuk mengawal, melindungi, mengawasi, bahkan melawan, berdatangan dimana-mana. Berharap pihak pemerintah tidak menuduh mereka sebagai Oposisi karena meminta bantuan di luar kekuasaan mereka.

Penguasan otoriter. Dengan slogan "segalanya dapat diselesaikan oleh tangan pemerintah." Sehingga, jika ada sesuatu di luar pengawasan mereka, apapun itu, akan dianggap sebagai tindakan Oposisi. Hukum gantung. Tembak. Potong leher. Ikat pada tiang di tengah terik yang tandus. Paling selamat, diasingkan ke pulau 100 untuk membangun kehidupan sendiri. Jika berhasil membuat "penemuan" di pulau yang terkenal dengan penghuni berbagai macam mahluk itu, maka dianggap beruntung; dapat kembali dianggap sebagai warga Negara meski dicampakkan.

Kai menyerahkan mangkok berisi sereal ke hadapan Neko. Gin duduk bersila dan hanya memperhatikannya melahap satu-persatu kepingan sereal berbentuk bintang itu.
Kenapa harus bintang....


"Kaichooouu!" dari kejauhan, seorang memanggil. Langkahnya terdengar berlari dari pagar. Seperti hendak menyampaikan sesuatu yang penting.


"Ada Permintaaaaaaan!!" Lelaki berkacamata itu menoleh ke arah pintu yang di buka seorang gadis dengan wajah sumringah. Gin mengalihkan tatapannya dari Neko. Ikut menyimak.

***

Para anggota Psycho-J yang terhormat.

Dengan ini Saya sertakan permohonan Saya yang akhirnya tertulis setelah lama terpendam dalam setiap do'a.

Saya tidak tahu bagaimana harus memulainya, dan saya benar-benar takut untuk mengatakannya. Saat ini posisi Saya aman dari pengawasan pemerintah, meski sebenarnya Saya mengharapkan bantuan mereka. Tapi Anda sekalian tahu, sungguh tak mudah berurusan dengan mereka. Kecurigaan menggiring mereka pada interogasi tak berujung yang justru akan menyulitkan Saya. Sementara, waktu saya mungkin tidak banyak.

Tuan-tuanku di Psycho-J.
Saya diam-diam telah mendengar banyak tentang anda sekalian. Tentang aksi-aksi heroik kalian dalam mengabulkap setiap permintaan yang datang. Lalu pikiran Saya mengarah kepada Anda sekalian saat hal ini sudah lama pula Saya simpan.  

Hanya sebagai pengantar agar surat ini tidak menimbulkan kesalah-pahaman jika telah terlebih dahulu dibaca orang lain sebelum tiba, Saya telah lama menunggu kepulangan suami dari pekerjaannya. Akan tetapi, Saya pikir takkan semudah itu mengingat keadaan Negeri ini yang rumit. Anda sekalian tahu - tentang gerakan terstruktur Oposisi - mungkin Anda sekalian bisa menemui Saya pada petang di bawah kincir desa Sera
Akan Saya jelaskan semuanya.
Salam. N.

Suasana hening.

Gin masih asyik menggigit-gigit ilalang dimulutnya. Reikoo menunggu respon Kai yang tampak berpikir. Mungkin berusaha memutuskan siapa yang kali ini akan turun untuk memenuhi permintaan surat tersebut.

"Ada tanggapan, Yuki?" laki-laki yang baru saja bergabung begitu Reikoo membawakan surat itu hanya berkedip. Ia lalu mengangkat bahu.

"Kayaknya bakal susah kalau udah bawa-bawa Oposisi."

"Kita aja udah mirip Oposisi. Ngabulin permintaan orang seenaknya." Seorang perempuan lagi datang dari ruangan lain. Aoi.

"Heh, urusan aja itu dokumen pekerjaan bayangan."

"Berisik! Orang cuma ngasih pendapat,"

"Udah-udah....Jadi malah berdebat," Reikoo berusaha melerai.

"Yang lain mana? Kok sepi banget mentang-mentang job nggak dateng-dateng?"

"Justru karena pada free, Kaichou. Revv lagi bantuin pemohon di kota. Tsuna sama Hyde juga di kota yang lain. Rex kencan, Purin nee-san jalan-jalan, Ken-san tadi di hutan, Kranz nee-chan sama Micchi-san belum keluar-keluar kamar.....Miyu-san masih belanja, Ai-san ke kota buat benerin peralatannya...." gadis yang tiba-tiba menyahut dari pekarangan itu menunjuk-nunjuk jarinya dan memperhatikan ruang tengah tempat para anggota bermusyawarah.

"Waah....benar juga! Yang kumpul sedikit,"

"Oi, oi. Muncul darimana coba? Tahu-tahu nyautin obrolan..." Kai memasang ekspresi datarnya. Sedikit terusik dengan kehadiran mahluk yang satu itu.

"Eh, ngomong-ngomong ada kumpul apa ini? Ada permintaankah?"

Kai diabaikan

"Anak kecil nggak usah ikutan. Berisik." Gadis itu mengembungkan pipinya. Melirik tajam kearah Gin. Mereka lalu beradu tatap dengan sedikit percikan listrik yang berbenturan. Menebarkan aroma permusuhan di ruangan.

Seketika ia tersentak. Bukan karena kalah dalam adu tatap itu, namun karena melihat sesuatu pada...
"Apa itu dimulutmu?!"

"Apa?" gadis itu mendekat dengan cepat. Mencermati wajah Gin dengan sorotan sinis. Lalu kembali terkejut.

"Jadi kau yang metik tanaman-tanamanku sembarangan?! Hei, itu persediaan makanan buat mitraku, tahu! Aaa!! dirusak!!" Gin menutup telinganya. Pusing. Kai menghela napas.

"Udah, udah, Kia. Yang penting sekarang kita selesain dulu request yang ini. Yu-"

"Matrix Hit!"
***


Brak!

Pintu depan terlepas dari engselnya. Rusak.

"Yuiii!!! Udah dibilang jangan praktikin jurus di siniii!!!" Kai menggebrak meja berkaki rendah dihadapannya, kesal. Kali ini, pinti depan - satu-satunya bagian yang terjaga setelah beberapa bagian bangunan lain diperbaiki - terbelah menjadi beberapa bagian. Dengan teknik pedang.

"Kebangetan! Mana Revv?!!" gadis bertubuh sekal itu beruap seperti bakpao baru matang.

"Yui! Tenangin diri dulu! Sini, sini. Gomen, Kaichou. Biar aku yang urus..... he-he." Reikoo segera bangkit. Menyeret kawannya itu ke ruangan lain agar tidak semakin ribut. Kai kembali menghela napas.

Tak apa. Mereka tidak seperti Kranz dan Micchi yang sudah lebih lama bersamanya. Semua butuh penyesuaian. Belum lagi....

Kia masih berdiri di dekat Gin. Memalingkan wajah. Ia benar-benar kesal.

"Yaudah, kita bawa seadanya aja dulu." Yuki melirik kedua mahluk yang masih bersitegang itu. Menghela napas seperti Kai.

"Kak Gin aja yang mimpin"

Sepi.

Kai memperhatikan sejenak. Berjaga-jaga jika terjadi penolakan.

"Yosh. Mau gimana lagi. Daripada nggak ada kerjaan." Tanpa disangka, lelaki itu bangkit dari duduk malasnya dan mereganggkan otot-otot kesayangannya.

"Kak Aoi mau ikut?" Yuki hati-hati bertanya.

"Boleh aja. Asal cuma ngikutin." Perempuan itu sedikit menaikkan bahu. Angkuh.

"Terus..."

"Sebenernya Gin dan Aoi udah cukup bisa dipercaya. Tapi mungkin yang bisa battle lagi bakal lebih bagus, buat jaga-jaga." Kai membetulkan kacamatanya. Yuki berpikir sejenak.

"Tapi Yui...nggak dalam mood yang bagus...."

Krek.

"Aduh? Rusak lagi?" seseorang menginjak patahan pintu yang beserakan dan masuk ke ruangan dengan tenang. Yuki memandanginya setangah melamun. Hanya beberapa saat kemudian Gin mendekatinya.

"Kalau begitu, Reikoo juga akan ikut." Yang disebut namanya berlarian dari ruangan lain. Terengah-engah.

"Ada apa, kak? Yu---"

"Ssssstt!!" Gadis nekomimi itu segera meletakan telunjuknya di mulut seraya mendesis. Isyarat keras agar anak laki-laki yang baru tiba itu diam.

"Udaah, Revv itu aja." Gin membalikan tubuh anak itu dan mendorongnya agar berjalan kembali keluar. Menjauhkannya dari ruangan tempat mereka berkumpul. Juga ruangan lain.

"Eh? Eh? Tapi Yui mana? Terus aku baru sampe! Oi! Tunggu dulu!"

"Ayo, ayoo, berangkaat! Ittekimasu, minna!" Aoi beranjak mengikuti ketiganya di belakang. Sementara, mereka yang ditinggalkan memandang punggung-punggung yang semakin menjauh.

"Are? Kau yakin ngutus Gin, Yuki?" seisi ruang menoleh.
***

-Sera. Desa dengan mayoritas penduduk petani-

Gin mengendus-endus udara di sekitarnya sebelum sempat melangkah mendekati pagar pembatas. Petang yang hangat itu menorehkan jingga di ufuk barat. Cantik dan memesona.

Aoi memandangi langit yang terlukis lembut itu, terpana. Hamparan pucuk padi yang keemasan berkilauan dibawahnya. Dari kejauhan, mereka seperti permata yang berkelipan dalam naungan langit senja. Indah sekali.

"Di sini lembab banget." Gin memandangi bangunan-bangunan yang terbentuk dari tumpukan bata tanpa lapisan cat di hadapan mereka. Bangunan-bangunan ini sederhana. Model lama yang mencerminkan kesederhanaan penduduknya.

"Ayo." Gin memimpin langkah. Mereka lalu berjalan ke arah ladang padi yang terhalang bangunan hunian penduduk. Orang-orang tengah melakukan kegiatan harian mereka; menapih beras, mengawasi anak-anak kecil bermain, mengasah cangkul, tidur di pelataran rumah dengan topi jerami yang menutupi separuh wajah, memasak makan malam hingga sedikit aromanya menyebar, dan sejumlah lainnya.

Beberapa pria paruh baya naik ke pemukiman dari ladang padi. Revv menghampirinya sebentar dan bertanya arah untuk memastikan, meski Gin dan Aoi terus saja berjalan dengan Reikoo yang membuntuti.

"Whaaa," Reikoo berhenti sejenak. Inilah penyebab pucuk-pucuk padi itu sudah terlihat meski mereka baru sampai di depan desa: ladang dengan beberapa kincir di dekat percabangan irigasi itu luar biasa luasnya. Dari ujung pemukiman yang agak membukit itu, ia bisa melihat dengan jelas kilauan air yang diterpa sinar mentari. Sekali lagi, menjadi pemandangan yang menyejukan.

"Cih, orang itu nggak bilang kita harus ketemu di kincir yang mana." Gin mengeluh. Ia tak ingin membuang banyak waktu di sini. Aoi memperhatikan sekitar, serius.

"Gimana kalo yang itu? Kincir yang kelihatan lebih tua, lebih mencolok. Bukannya kalau kita ada janji buat ketemu, kita bakal milih tempat yang gampang ditandain?" Reikoo menunjuk-nunjuk salah satu kincir besar.

"Ayo." Gin lagi-lagi memimpin, menuruni bukit landai yang mereka pijak. Yang lain mengikuti.

Reikoo melempar pandangannya ke kiri dan kanan. Mencari-cari. Tengokannya yang ke sekian lalu berhenti di wajah dingin Gin yang menghalangi.

"Mana?"

"A...no..." gadis itu mulai gugup.

"Ah," semuanya menoleh ke arah suara dari balik kincir. Di sana, seorang wanita berwajah lembut berdiri dan sedikit terpana melihat keempat orang yang mengunjungi ladang menjelang malam itu.

"Anda Psycho-J, bukan? Perkenalkan, saya Nara, yang memanggil Anda sekalian." Wanita itu membungkuk. Membuat mereka gugup, dan sedikit kaget.

"A-ah, nggak perlu. Maksudku, santai aja." Wanita itu kembali menegakan tubuhnya dan tersenyum.

"Maaf membuat Anda mencari-cari. Saya sengaja berdiri di tempat yang agak tersembunyi, menunggu semuanya pulang supaya tak menjadi buah bibir karena sampai memanggil kelompok penting seperti Anda sekalian." Reikoo kagum dengan kesopanan client mereka kali ini. Meski tinggal di lingkungan yang sederhana, etikanya terjaga sekali.

"Bisa kita masuk, supaya pembicaraan kita lebih nyaman?" semuanya setuju. Mereka lalu mengikuti wanita itu masuk ke kincir lain karena kincir tua ini sudah berkarat engselnya dan pintunya disegel dengan semacam papan kayu. Katanya, kincir ini hanya dimasuki jika ada bagian yang berhenti bekerja.

Malam semakin merayap ketika para utusan Psycho-J berbincang dengan client mereka di dalam sebuah kincir di desa Sera. Dengan beberapa lilin yang sudah disiapkan sebelumnya sebagai penerangan seadanya, mereka menyimak cerita sang client dengan seksama.

"Pagi itu, dia berangkat dengan perbekalan yang cukup banyak. Mungkin bisa sampai tiga hari. Saya juga tak mengerti. Padahal, mayoritas penduduk di sini adalah petani. Dan, kalaupun kami hendak ke kota untuk menjual hasil tani, paling lama hanya dibutuhkan waktu sehari untuk kembali lagi. Dia tidak bilang akan kemana. Tapi saya menemukan barang semacam emblem dengan rupa seperti ini," Nara - wanita yang menjadi client kali ini menggoreskan sesuatu di lantai. Menggambar sebuah lambang. Gin sedikit tersentak ketika gerakan Nara terhenti.

"Keadaan saat itu sedang ramai oleh perbincangan tentang pasukan Oposisi yang tengah melakukan perekrutan besar-besaran. Orang-orang yang dianggap berkompeten dipaksa untuk ikut dengan berbagai ancaman. Entah untuk dijadikn anggota atau sandera demi menggertak pemerintahan. Bahkan, tak lama setelah dia pergi, desas-desus mulai bilang kalau di beberapa desa juga sebagian orang menghilang secara misterius."

"Tapi, suami saya pergi berpamit dengan senyuman di wajahnya.....Dan sejak saat itu, dia tak pernah kembali lagi...."

"Sudah berapa lama?" Aoi mengambil alih. Nara menunduk, sendu. Ia menggeleng lemah.

"Mungkin dua tahun.....padahal kami belum memiliki keturunan...." Isakan kecil mulai terdengar. Reikoo berusaha menahan diri untuk tidak terbawa suasana.

"Hari semakin gelap. Mungkin kami akan mulai mencari besok,"

"Kau yakin, Gin?" Gin terdiam sejenak.

"Kita coba saja." Revv dan Reikoo saling bertatapan. Reikoo lalu menyadari sesuatu dan membujuk yang lain agar setuju.

"Benarkah? Anda dapat menemukannya?" seberkas cahaya tersirat di mata Nara. Ada harapan akan kepulangan suaminya yang ia nanti bertahun-tahun di sana.

"Terima kasih banyak.....Maukah Anda bermalam di kediaman saya? Kelihatannya cukup untuk kita semua," Gin berpikir sejenak. Yang lainnya kembali saling bertatapan.

"Kita nggak mungkin ke markas dulu sekarang. Jadi, nggak ada pilihan lain."

"Kalau begitu, mari." Nara bangkit dan membuka pintu untuk mempersilakan mereka berempat keluar, lalu mematikan lilin dan menutup pintu. Hari sudah cukup gelap diluar dan Nara menyalakan obor untuk menerangi jalan. Ia membimbing semuanya menaiki bukit, ke pemukiman.
***

"Ayo," pagi-pagi buta, Gin, Aoi, Revv, dan Reikoo telah kembali bersiap untuk melaksanakan misi mereka yang sesungguhnya. Udara yang dingin merayapi pakaian mereka dan membuat Revv menggosoki lengannya berkali-kali. Aoi yang baru selesai mencuci muka bersin dan menggumam tak menduga suhu akan berubah drastis di tempat seperti ini.

"Reikoo, kau diam di sini."

"Eh?! Apa?!" Gadis yang sudah rapi itu protes.

"Aku bilang diam di sini."

"Nggak adil! Udah jauh-jauh  ke sini, terus cuma disuruh tunggu?!" Gin menghadangkan dirinya pad Reikoo. Ia memandang serius.

"Kita mungkin bakal ngelawan beberapa orang terlatuh yang disebut-sebut sebagai calon pemberontakan pemerintah, jadi mereka bukan tuyul-tuyul lemah yang jatuh kalau disenggol. Diamlah di sini. Kau akan aman." Reikoo bersungut. Ia masih tak terima.

"Aku nggak memutuskan untuk ada di sini kalau aku nggak berguna, senpai! Lagian, kemampuanku mungkin bisa jadi petunjuk nantinya," Gin terdiam. Sampai beberapa saat kemudian ia menghela napas dan berjalan ke arah pintu.

"Kalian sudah siap?" sebuah suara merelai perdebatan kecil mereka dari arah dapur. Sebuah selimut tersampir ditangan Nara ketika menemui mereka dengan tersenyum. Ia lalu meletakkan selimut itu di kursi ruang tengah dan membimbing mereka keluar dari rumahnya.

"Ah, mohon tunggu sebentar," keempat orang itu berhenti sejenak tak jauh dari pintu. Udara yang menyambut mereka di luar semakin dingin ketika desiran angin membelai pelan. Reikoo bersin den mengusap kedua lengannya. Gin menyerahkan syalnya dan kembali memperhatikan Nara yang telah membawakan sesuatu.

"Aku tidak tahu akan butuh waktu berapa lama, tapi kuharap ini akan berguna." Ia menyerahkan sekantong makanan yang dibungkus dengan sebuah kain; ciri khas warga pedesaan ketika harus membawa sesuatu bersama mereka. Sejujurnya, Gin hendak menolak. Tapi, melihat ketulusan wajah Nara, ia hanya sedikit tersenyum dan berterima kasih. Lalu memulai langkah dan kembali memimpin kelompok.

Nara mengiringi langkah mereka dengan lambaian da-dahnya. Berharap mereka kembali dengan orang yang diharapkannya - jika pun belum, setidaknya membawa kabar baik untuknya.

-Di luar desa-

Gerombolan itu mengikuti jalan penghubung antar tempat dan mulai terbiasa dengan suhu di sekitar. Gin menitipkan bekal mereka pada Revv yang berjalan paling belakang untuk menjaga barisan, selain untuk mengawasi kalau-kalau ancaman mengikuti mereka.

"Kalian ingat baik-baik muka laki-laki itu. Kelompok gelap macam Oposisi mungkin udah ngubah penampilannya supaya nggak dikenal. Lagian....." Gin menghentikan langkahnya. Diikuti yang lainnya. Matanya menyipit setelah menoleh keluar jalur tempat mereka berjalan. Ia lalu mengubah haluan.

"Hei! Mau Kemana?"

"Apa kalian pikir orang bakal gunain tempat yang dikenal banyak orang buat nyulik dan nyembunyiin seseorang? Mereka pasti ada di tempat yang jarang dilaluin." Aoi terdiam sejenak dan mengikuti. Yang lain hanya mengekor.

Kini mereka menyusuri lahan tak berpenghuni yang semakin menjauhkan dari lajur bertanda. Setelah cukup lama, mereka beristirahat sejenak dan meminum air perbekalan hanya untuk memulihkan sedikit tenaga. Selanjutnya berjalan lagi hingga ufuk timur mulai terlihat kebiruan.

Revv berhenti sejenak demi menoleh dan memerhatikan bayangan matahari yang terbias di awan. Ia lalu menyusul ketiga rekannya dan terus berjalan beriringan. Entah sudah seberapa jauh.

"Kau yakin bisa, dengan cuma ada kita, Gin?" Lelaki itu tak menyahut dan terus memimpin jalan. Langkahnya lalu melambat dan tatapannya sedikit mengarah ke atas.

"Nggak akan sulit. Kan ada kau," Aoi sedikit tersentak. Gin menghentikan langkahnya diikuti yang lain. Di hadapan mereka, pepohonan hutan berdiri menghalangin pemandangan dibaliknya. Di sini, Mungkin di balik sini...."

"Ayo," Lagi. Gin terus meyakinkan yang lain untuk terus melanjutkan langkah mereka.

"Yang tadi itu.....apa maksudnya? Aoi menggumam"
***

Hutan yang tidak terlalu lebat itu bukan penghalang yang berarti bagi mereka. Sebagian ranting memang sedikit tersangkut di pakaian mereka, tapi hewan-hewan yang buas dan berbahaya tidak muncul untuk memberi hambatan.

Aoi tak menurunkan pengawasannya. Ia memerhatikan langit-langit hutan dan keadaan sekeliling yang masih sunyi pada waktu sepagi ini. Reikoo berusaha menyingkirkan serpihan daun kering dari sepatunya yang juga menginjak dahan-dahan rapuh yang patah saat dilintasi. Revv hanya menjaga perbekalan mereka agar tidak tersangkut dahan rendah yang sesekali mencubit lengannya. Ya, tidak terlalu buruk.

Tiba-tiba, Gin menghentikan langkahnya dan merentangkan sebelah tangannya. Ia sedikit membungkuk dan memberi isyarat untuk tidak bersuara.

"Seperti yang diduga." Tidak begitu jauh dari mereka, beberapa kemah dan satu bangunan persegi seperti penjara berdiri di atas lahan yang seharusnya tak berpenghuni itu. Gin mencermati keadaan.

"Jadi, mereka sedekat ini?" Aoi memerhatikan kemah-kemah itu. Sepertinya sudah cukup lama di sana dan bersifat permanen.

"Nggak akan ada yang duga kalau mereka dekat dengan pemukiman. Kalau dengar tentang Oposisi, mereka pasti mengira orang-orang itu dibawa ke markas atau semacamnya buat dikasih pelatihan dan persiapan nyerang pemerintah sewaktu-waktu. Orang juga nggak akan tahu seberapa siap mereka untuk bertahan di tanah tanpa penghuni kayak gini." Aoi melirik Gin dari sudut matanya.

Gin tahu banyak. Apa........

Gin mundur tiba-tiba dan kembali memberi isyarat untuk tidak bersuara. Seoran pria keluar dari salah satu kemah dan merentangkan tangannya. Merenggangkan otot-ototnya seperti kebiasaan Gin. Ia juga melakukan senam ringan dan memandangi langit timur dengan wajah sumringah. Bekas luka di wajahnya samar terlihat ketika ia menoleh ke salah satu kemah yang lain.

Seorang pria yang lebih kurus keluar dan menghampirinya. Mereka berjabatan dengan tangan di depan bahu dan berbincang sebentar, lalu keduanya beranjak dari depan kemah untuk melakukan penjagaan. Saat itu, Gin dan yang lainnya baru sadar jika pria tersebut membawa senjata.

Seorang pria lagi keluar dari kemah di sudut yang lain, di sapa oleh pria pertama dan membalas sapaan. Ia berjalan menuju bangunan persegi dan masuk kedalamnya. Tampak membawa sesuatu.

Gin sedikit menaikan kepalanya dan mengeluh untuk tidak bisa melihat lebih jelas apa yang dibawa pria itu.

"Aoi, kali ini jangan membunuh" Gin masih memfokuskan tatapannya ke kemah-kemah itu. Aoi hanya meliriknya dari sudut mata.

Sesuatu terlempar ke arah pria pertama yang berotot itu. Membuatnya menengok ke bawah dan sedikit heran. Tiba-tiba, benda kecil itu meledak dan membaurkan asap. Membuat si pria mengomel seraya terbatuk-batuk.

Begitu ia membuka matanya, Aoi tengah berlari dengan sangat cepat dan menyerangnya. Membuatnya terkejut dan nyaris dilumpuhkan pada saat yang bersamaan.

"Serangan mendadaaak!!" beberapa orang keluar dari kemah sejak terdengar ledakan kecil tadi. Mereka dengan sigap memasang senapan dan menembak ke arah Gin yang tak kalah cepat memunculkan perisainya. Ia melumpuhkan sebagian dari mereka sambil terus mencari cara agar dapat memasuki penjara itu.

Beberapa pria terjatuh tiba-tiba saat tengah mengisi peluru mereka. Rupanya Revv memukul mereka dari belakang tanpa mereka sadari; yang sebenarnya ketiadaan hawa laki-laki tersebut menjadi keuntungan dalam hal ini....

Tiga orang pria dengan seragam serupa yang telah tumbang keluar dari bangunan dan melihat situasi tengah carut-marut. Pelih bermunculan di dahi, namun mereka memberanikan diri untuk turut meyiapkan senjata.

"Di sana!!" Teriakan Reikoo menyadarkan Gin. Ia melihat ke satu arah dan memberikan instruksi baru. Segera.
***

-Sera-

Sore sudah merayap ketika burung beterbangan menuju barat. Lagi, lukisan alam yang terbentang indah di sana menjadi penyejuk mata bagi siapapun yang memandangnya. Dengan sepoi angin yang membelai lembut, helai demi helai rambut menari menyambut. Damai serasa singgah untuk sesaat. Pembatas segala aktifitas ini mengizinkan jiwa-jiwa pekerja untuk kembali ke kediaman masing-masing. Beristirahat setelah melalui lelahnya hari.

"Terima kasih. Terima kasih banyak telah kembali menyatukan kami. Terima kasih....." Wanita itu membungkuk penuh hormat setelah apa yang mereka lakukan. Setelah sedikit rintangan yang mereka lalui.

Inilah yang mereka kerjakan. Inilah yang mereka ingin selesaikan. Setiap permintaan yang datang dan berharap untuk dikabulkan.

"Yah, baiklah. Kalau begitu kami pamit dulu." Keempat orang itu balas mencondongkan tubuh dan berbalik badan. Berjalan meninggalkan client terakhir mereka yang melambai dengan wajah bahagia. Dan dengan pria tercintanya di belakang.

"Jadi.....kau hendak berlalu begitu saja, Gin?" langkah-langkah mereka berhenti.

Suara itu.....

"Setalah sekian lama tak berkunjung ke tempat ini.....kenapa tak menghabiskan waktu dan sedikit bernostalgia?" Reikoo menoleh ke asal suara demi mendapati seorang wanita berparas cantik nan lembut beberapa meter di belakang mereka. Entah sejak berdiri di sana.

Gin kembali berjalan tanpa berucap walau sepatah kata. Yang lainnya sempat tergugu sebelum mengikuti sebelum mengikuti pemimpin mereka. Dan Reikoo, sempat memandangi air muka sedih wanita itu. Muram.

(Original Creator: Ojou-sama (Kia))

-NEXT ON- "A Tale of Psycho-J": The Origin Story will be reveal!!! Heroes Arc begins!

2 comments: