Friday, June 3, 2016

A TALE OF PSYCHO-J (HEROES ARC): CHAPTER 2

GIN: SEBUAH MISI YANG GUGUR (Part 2)

Pagi akhirnya tiba. Cerobong asap bangunan para penduduk mulai mengepul. Bahan makanan yang dibawa pasukan Guild sebagai penopang kebutuhan perang tengah diolah. Sementara, Gin dan kawannya terus bersiaga.

"Permisi," Gin menoleh. Disambut asap tipis yang menari lembut diatas mangkuk sup.

"Semua tamu kehormatan akan disuguhi oleh ini. Silahkan." Nae menyodorkan sup pada lelaki bertubuh "padat" itu. Gin nyaris tak berekspresi. Hanya menerima mangkuk dan mulai mencicipinya.

"Kakek bilang Anda hebat. Dan aku yakin itu," Nae mulai duduk di atas rerumputan. Memandangi ladang lewar bukit yang landai.

"Kami selalu percaya pemerintah. Mereka orang baik. Meski kami adalah pemasok utama bahan makanan pokok, tapi bukan karena itu mereka melindungi kami. Kami hanya seperti bagian dari mereka. Dari Negara ini. Menjadi desa yang sedikit banyak ikut menyusun Negara ini..."

Cahaya fajar mulai terlihat. Langit mulai terlihat berwarna.

"Kadangkala, beberapa pasukan yang ditugaskan untuk menjaga pada saat tertentu seperti festival tahunan bertingkah congkah: angkuh dan kasar. Tapi aku tahu, mereka melakukan tugas itu dengan sukarela. Mereka tak akan bergabung jika tak mau, bukan? Jika mereka telah melewati tahap Guild, mereka bisa saja menerima pekerjaan lain. Bertani, bergadang, menjadi pustakawan, apa saja hal yang lebih menyenangkan. Apalagi menjadi pengembara. Aku selalu memimpikan itu. Tapi aku tahu, disinilah rumahku... aku selalu nyaman berada disini..."

Sunyi.

"Supnya enak. Terima kasih." Gin meletakan mangkuknya dan beranjak pergi. Meninggalkan Nae yang masih tersenyum memandangi ladang. Sendirian.

Pasukan Guild terus berjaga. Tak sedikitpun melewati pengawasan mereka dari seluruh penjuru, di setiap sudut. Penduduk tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Anak-anak masih diizinkan berkeliaran selama di dalam batas pengawasan. Hingga akhirnya sehari berlalu, para pasukan kembali disuguhi makanan oleh penduduk dan beristirahat. Berganti shift dengan yang lain.

***

Hari berikutnya, pengawasan mulai diperketat, akan tetapi aktivitas penduduk masih berlangsung seperti biasa. Anak-anak masih berkeliaran, namun sudah tidak diperbolehkan berada di sekitar ladang. Belum ada laporan terbaru mengenai keberadaan pengancam. Gin mengawasi ladang dari bukit beberapa meter dari rumah Kepala Desa.

"Dahulu, ladang itu rawa. Lalu para pendahulu kami mengolahnya menjadi sumber penghasilan penduduk yang sampai sekarang mampu menopang sepuluh persen dari penghasilan Negara. Kamilah tabungan Sandang saat kemarau dan badai salju melanda. Puluhan Ton bahan mentah disimpan di gudang. Bahkan kami sampai jadi pemasok ke negeri seberang. Tidak hanya karena hasil ladang kami berlimpah, tapi juga karena kualitasnya disebut sebagai yang terbaik. Aku bersyukur, meski sederhana, kami bisa berbagi kepada sesama." Nae menghampiri Gin seraya menyerahkan semangkuk sup, lalu duduk tak jauh darinya.

"Hingga, suatu hari desa ini dinyatakan sebagai wilayah kepemilikan pemerintah sepenuhnya. Kami yang bahkan sampai saat ini masih begitu buta soal persenjataan bagaimanapun merasa senang karena dengan demikian, keamanan kami telah terjamin. Bahkan transaksi kami tidak dibatasi pada Negara ini saja. Kami juga diperbolehkan mengekspor atas nama sendiri dengan syarat pembayaran tetap dipenuhi.

Sayangnya, belakangan yang bermasalah justru sebaliknya. Pembayaran atas hasil panen kami tersendat entah dimana. Belum lagi feedback yang terkesan enggan, membuat para Rebel mulai bersuara untuk membebaskan kami. Akhirnya, kedua pihak duduk berhadapan untuk membicarakan ini. Tapi sayangnya," Nae berhenti sejenak.

"Senat gagal bernegosiasi karena para Rebel telah lebih dulu termakan emosi. Mereka kesal dengan pemerintah yang bersikeras mempertahankan Sera dengan alasan, jika dilepas, desa ini akan rentan direbut oleh Negara lain dan menyulitkan kita semua. Padahal, di mata Rebel, kami justru menderita digantungnya sejumlah pembayaran yang seharusnya telah mensejahterakan kami..."

Gin tidak merespon. Hanya memandangi hamparan ladang yang keemasan dibasuh cahaya matahari pagi. Lembut. Tentram.

"...kami harap... kami harap semua ini akan segera berakhir...." Nae memeluk kakinya. Membenamkan separuh wajah, memandangi ladang. Tubuhnya terlihat gemetar.

Gin yang menyadari perubahan atmosfer menatap Nae sejenak, lalu meletakan mangkuk supnya dan beranjak.

"Terima kasih," ujarnya seraya berbalik badan.

"Kami akan melindungi desa ini dalam keadaan apapun." Gin melangkah kembali. Meninggalkan Nae dengan binar yang terbit dimatanya. Menumpahkan air mata dari sudut matanya. Lalu diusapnya.

***

Hari-hari berikutnya, penjagaan semakin diperketat. Berdasarkan penemuan salah seorang pengawas yang melaporkan bahwa posisi musuh telah terlihat di dekat perbatasan, anak-anak mulai dipindah-lokasikan. Aktivitas penduduk telah dibatasi. Para pasukan mulai turun dan menyusuri ladang. Gin terus memantau pasukan dan mengarahkan para pelapor. Saat pelapor terakhir pergi, Nae telah datang dengan sup buatannya. Beserta senyumannya.

"Selamat pagi. Kudengar anak sudah dipindahkan?" Gin mengangguk. Ia menerima sup dan memandangi permukaannya sebentar.

"Ada apa?" Nae bertanya lagi. Gin hanya menggeleng dan mulai memakan supnya. Selama Gin menyantap makanannya, Nae terus memerhatikan dengan tatapan yang lembut, seraya tersenyum. Mungkin karena... sesuatu?

"Terima kasih supnya." Gin meletakan mangkuk dan secara tak sengaja tatapannya bertemu dengan pandangan Nae. Untuk sesaat, suasana menjadi hening.

"Malam ini, berlindunglah di bawah pengawasan pasukan yang telah kusiapkan untukmu." Gin melangkah pergi. Sementara, Nae yang tengah memandangi mangkuk kosong kemudian mengambilnya dan tersenyum. Mengangguk pelan.

Saat hari beranjak siang, sejumlah laporang mulai memberikan informasi yang sama: pasukan Rebel telah melewati perbatasan dan semakin dekat. Gin terus mengendalikan keadaan. Para penduduk diamankan di rumah mereka, sebab pasukan Guild akan berusaha menahan peperangan di luar ladang dan pemukiman. Kepala Desa sudah tak terlihat batang hidungnya. Begitupun dengan Nae. Pengamanan sudah sampai puncaknya.

Sore hari, ketegangan masih berlangsung. Suasana desa menjadi begitu hening. Bahkan kumpulan gagak yang biasanya beterbangan di atas ladang enggan untuk melewati pasukan yang berjaga. Hingga senja berganti gelapnya malam, belum ada tanda-tanda kemunculan para pemberontak itu. Pasukan Guild telah sepenuhnya bersiaga.

Beberapa lama kemudian di tengah kegelapan, sebuah suara menyentak Gin sehingga ia harus menoleh ke arah pemukiman penduduk. Cahaya yang samar menari di atap salah satu bangunan, membuatnya berlari menghampiri.

Api.

Kobaran api melahap dengan cepat atap salah satu penduduk.

"Apa yang terjadi?!" Gin setengah berteriak saat mendekati bangunan yang bersangkutan. Dua pasukan Guild yang terlihat panik sekaligus kebingungan hanya bisa menatap pemandangan tersebut.

"Ka, kami tidak mengerti. Tiba-tiba saja muncul di atas sana-"

"Cepat padamkan! Evakuasi penduduk di dalam!" mereka hanya mengangguk dan menurut.

Tidak memakan waktu lama, satu persatu atap bangunan mulai menyala dengan sendirinya. Gin terpaku ke arah benda merah liar itu. Ada sesuatu yang tidak beres.

[TO BE CONTINUED...]

NEXT ON "A TALE OF PSYCHO-J": Api yang tiba-tiba saja muncul telah membakar seluruh atap penduduk desa. Apa yang sebenarnya terjadi??!!! bagaimanakan nasib penduduk desa??!! Chapter selanjutnya akan menjadi klimaks dari cerita Gin!! Nantikan chapter selanjutnya -GIN: SEBUAH MISI YANG GUGUR (Part 3)-!!!!

(Created by: Ojou-sama a.k.a Kia)

No comments:

Post a Comment